Monday, October 30, 2006

Burung-burung yang “Berlayar”
(Jejak-jejak Perdagangan Nuri Talaud)
Fahrul P. Amama
Bagian Kedua

Penyelundupan dan Keberadaan Kapal Ikan Filipina

Menurut keterangan masyarakat di Kampung Apan, Talaud, kegiatan penyelundupan kopra dan cengkeh berlangsung marak sekitar tahun 1963. Selain Mindanao Selatan (Filipina), tujuan penyelundupan juga sampai ke Tawau (Malaysia). Pelaut Sangihe menguasai jalur perdagangan dari Halmahera-Sangihe-Mindanao Selatan. Sementara pelaut Bugis dan Talaud lebih cenderung ke Tawau. Mereka berhubungan dengan kelompok penyelundup di Tawau dan Mindanao yang membawa barang selundupan dengan menggunakan kompit (kapal kayu berbobot mati 12-15 ton). Selain kopra dan cengkeh, burung nuri menjadi salah satu komoditi favorit yang cukup tinggi harganya. Keterangan masyarakat menyebutkan, selain nuri ternate, penyelundup Sangihe juga membawa sejenis nuri dari Sangihe yang menurut mereka memiliki corak warna yang sama dengan nuri talaud.
Keterangan dari orang Filipina yang tinggal di Melonguane, Talaud, menyebutkan bahwa sekitar tahun 1990-an, General Santos mulai kehabisan pasokan ikan akibat overfishing yang terjadi di perairan Filipina. Namun kondisi ini tidak berpengaruh besar terhadap produktivitas pabrik pengalengan ikan disana yang dikenal sebagai produsen ikan kaleng terbesar di Asia. Ini dikarenakan ekspansi daerah operasional armada kapal ikan mereka di perairan yang sudah masuk wilayah NKRI. Pengawasan teritorial oleh TNI AL yang sangat lemah membuat kapal-kapal pukat dan penampung ikan Filipina berkeliaran bebas di wilayah perairan RI. Lebih parah lagi, mereka bermitra dengan pengusaha lokal di Sulawesi Utara dan membuat mereka dapat leluasa beroperasi di perairan Maluku, Sulawesi, dan Sangihe dan Talaud dengan berbendera Indonesia.
Jalur pelayaran yang cukup jauh ini membuat kapal-kapal tersebut seringkali terpaksa singgah di Karakelang karena kehabisan air minum atau kerusakan mesin. Ini membuka kembali kontak dagang ilegal antara orang Filipina dan orang Talaud di pesisir Timur Karakelang. Sialnya, para awak kapal ikan Filipina tersebut juga melakukan bisnis burung sebagai usaha sampingan mereka yang sangat menguntungkan. Selain nuri talaud, ribuan ekor nuri dari Ternate dibawa ke Filipina melalui jalur ini. Burung-burung ini dijual dengan harga Rp. 25.000 – Rp. 50.000 per ekor. Perdagangan nuri talaud seringkali dilakukan pula melalui sistem barter untuk ditukar dengan panci alumunium, penggorengan, sangkur, dan minuman keras (Tanduay, London Gin, dan minuman berakohol lainnya). Bisnis ini melanggar ketentuan internasional karena nuri talaud merupakan satwa dilindungi yang masuk dalam Appendix I CITES dan tidak boleh diperdagangkan antar negara.

(Ilustrasi Nuri Talaud oleh Fahrul P. Amama, Yayasan Sampiri, 2001)

No comments: