Tuesday, October 18, 2011

Ragam Pesona Kawah Tua Sano Nggoang

Seri Taman Nasional | Mbeliling
Oleh Fahrul Amama

Panorama Danau Sano Nggoang, foto: Langgeng Arief Utomo/Burung Indonesia

Hari mulai sore, ketika mobil kami menukik di tikungan terakhir menuju Wae Sano, Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Jantung terasa berhenti berdetak saat mobil menuruni belokan tajam nan terjal; jantung kembali berdenyut kencang kala roda belakang tergelincir di jalanan berbatu. Namun di ujung tikungan, pemandangan danau nan teduh, yang menyeruak di sela bambu dan semak, terpampang di depan kami. Agaknya, memang perlu sedikit adrenalin yang berujung kejutan indah untuk menikmati Danau Sano Nggoang.

Tiga jam lebih kami berkendara dari Kota Labuan Bajo, melintasi jalan raya menanjak berliku, melewati hutan Mbeliling dan kebunkebun kemiri. Usai kejutan di tikungan itu, kami menelusuri jalan berbatu mengitari sisi timur Danau Sano Nggoang. Panorama tepian danau membasuh rasa lelah kami. Puluhan itik gunung, berbaur dengan itik benjut dan belibis tutul, mengapung di permukaan danau yang hijau dan tenang. Yap, inilah geowisata!

Itik gunung bermain di permukaan Danau Sano Nggoang, foto: Riza Marlon/Burung Indonesia

Sano Nggoang merupakan danau vulkanik di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Terletak di cekungan pegunungan bagian barat, bergaris keliling 7,8 km dan menghampar 513 hektare menjadikan danau ini terluas di Pulau Flores. Meski belum tersohor seperti Kelimutu di sisi timur, Sano Nggoang menjanjikan wisata alam yang tak kalah menarik bagi para pelancong.

Kami menghirup semerbak belerang saat melewati jalan tanah menanjak yang licin. Di sisi kanan kami, membentang daerah terbuka berselimut batuan vulkanik beku di tepi danau. Sebagai bekas kawah gunung api tua, Sano Nggoang menyisakan mata air panas yang mengandung belerang, dari rekahan batu vulkanik. Bau mata air panas itu menjadi aroma terapi alami yang membuat kami tetap terjaga sebelum memasuki batas desa.

Welcome to Kampung Nunang, please come in to our simple house,” sambut Maria Sumur. Ia menyapa dengan ramah di tangga rumah dan menyilakan kami masuk. Rumahnya yang sederhana saja.

Kami agak kaget juga menerima sambutan dalam bahasa Inggris Maria, saat tiba di sebuah desa yang berjarak 48 km dari ibukota kabupaten. Maria adalah ketua kelompok sadar wisata yang sedang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Nunang, Wae Sano. Dia, bersama kaum ibu anggota kelompok lainnya, dengan penuh semangat melatih ketrampilan menyiapkan masakan, melayani wisatawan dan berbicara dalam bahasa Inggris.

Maria memandu kami meniti anak tangga memasuki rumah. Hendrikus Habur, suami Maria, menyambut kami. Senyumnya khas Nusa Tenggara: gigi putih berona merah di sela gigi, pertanda pengunyah sirih sejati. Arif Junaidi, staf Burung Indonesia, memperkenalkan kami dengan anggota kelompok sadar wisata yang mengembangkan Sano Nggiang menjadi tujuan wisata alam.

Meski sederhana, acara ini adalah bagian dari tradisi curu, budaya masyarakat Manggarai dalam menyambut tamu. Kami duduk melingkar beralas tikar pandan untuk memulai kapu. Dalam ritual ini, tuan rumah mempersembahkan seekor ayam jantan putih, simbol rasa kekeluargaan dan keikhlasan hati.

Tuak disajikan sebagai hidangan penyambut untuk membilas dahaga dan lelah setelah perjalanan jauh. Di akhir prosesi, tetamu biasanya mempersembahkan uang kertas sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan menghormati arwah leluhur.

Bermalam di Wae Sano berarti melewati kegelapan tanpa polusi cahaya. Kebanyakan rumah hanya diterangi satu lampu TL bertenaga surya. Tanpa cahaya berlebihan, malam Wae Sano memberi kesempatan menikmati langit nan gemerlap. Bintang-bintang terlihat lebihberkilau. Inilah salah satu kriteria geowisata.
Di awal musim kemarau ini, galaksi BimaSakti terlihat lebih cerah, memanjang dari utarake selatan. Di sekitarnya kita bisa melihat beragam konstelasi, seperti ursa minor dan centaurus. Ingin rasanya menikmati langit sepanjang malam sampai subuh menjelang. Namun, perjalanan yang melelahkan dan makan malam yang lezat membuat kami cepat mengantuk.
Kami bangun pagi-pagi. Ajakan menjelajah ke puncak Golodewa sembari mengamati burung membuat kami bersemangat untuk segera memulai hari. Sambil menunggu teman yang lain, saya dan Hendrikus membacabaca brosur wisata Sano Nggoang di Tourist Information Point, samping Kantor Desa.

Menurutnya, pusat informasi berupa panggung gazebo 4x4 meter itu dibangun dengan dana bantuan dari pemerintah Denmark. Bangunan kokoh dari kayu jati ini berfungsi sebagai pusat kegiatan kelompok sadar wisata sekaligus menjadi titik berkumpul para tamu.

Kelompok sadar wisata ini telah berlatih keras cara mengelola dan melayani tamutamu yang menginap; untuk mengintip pengembangan ekowisata di Pulau Dewata, kelompok ini juga sempat mengunjungi Bali.

Sejak kunjungan tamu ke Sano Nggoang meningkat, Hendrikus misalnya, berusaha meningkatkan kemampuannya mengenali lokasi pengamatan burung, mengidentifikasi burung dan nama-namanya dalam bahasa Inggris.

Hendrikus menuturkan, akhir-akhir ini banyak tamu yang berkunjung ke hutan Mbeliling untuk mengamati burung, yang mendorongnya mengasah keahlian memandu pengunjung. Pada 2009 saja ada 157 wisatawan dari mancanegara yang singgah di Wae Sano. Angka ini berlipat lima kali dari kunjungan 2008, yang hanya 30 wisatawan.

Salah satu tempat menarik untuk mengamati satwa bersayap itu ada di hutan Sesok, sekitar Danau Sano Nggoang. Beberapa jenis burung endemik, seperti gagak flores, kehicap flores dan elang flores dapat dijumpai di sini. Begitu juga, burung-burung dengan sebaran terbatas seperti tesia timor, kipasan flores dan cekakak tunggir-putih menjadi daya tarik tersendiri.

Kami berjalan santai menelusuri setapak di tepi sungai kecil. Saat berbelok menjauhi sungai melintasi kebun, Hendrikus menunjuk ke arah pohon ara di dekat sungai: kawanan burung gagak flores. Sontak, kami mengarahkan teropong dan menyaksikan burung berwarna hitam kelam itu sedang mencari makan.

Penjelajahan terus berlanjut, mendaki bukit, menembus semak. Sambil berjalan, Hendrikus mengenalkan kami beberapa jenis tumbuhan obat yang dipakai masyarakat setempat. Tiba di punggung bukit, keringat mulai mengalir dan nafas mulai tersengal. Untungnya, kami sempat mengintip seriwang asia yang cantik terbang melintas; ekornya yang panjang berwarna putih berkibar-kibar. Saat nafas mulai memburu, berhenti sejenak untuk mengamati burung menjadi alasan tepat untuk rehat.

Sampai di puncak Golodewa, rasa lelah kami terbayar lunas dengan pemandangan danau yang sangat indah. Saya memandangi bentang alam Danau Sano Nggoang yang diapit pegunungan. Kehadiran elang flores yang melayang meniti angin melengkapi keindahan panorama dari puncak bukit ini.

Seperti yang biasa kita alami saat trekking, perjalanan turun terasa lebih singkat. Kami langsung menuju rumah Hendrikus untuk mandi pagi dan sarapan. Maria sudah menanti dengan pisang goreng dan kue bola dari ketela yang siap disantap sambil duduk di teras tanah. Saat menyeruput teh, kami kembali disuguhi keindahan burung caladi tilik yang hinggap di pohon depan rumah. Burung sejenis pelatuk itu terlihat sibuk mematuki lubang di batang pohon mencari serangga untuk santapannya. Sementara itu, kancilan flores berkicau ribut dari puncak pohon randu di dekatnya.

Matahari semakin tinggi, Hendrikus mengajak kami ke sumber air panas di pinggir danau untuk membasuh tubuh. Di lokasi ini terdapat tiga mata air panas dengan suhu yang berbeda: 30° C, 70° C, hingga 100° C. Ada juga pancuran air hangat yang mengandung belerang, bagus untuk natural spa: melumuri tubuh dengan endapan belerang.

Beranjak sore, kami bersiap untuk kembali ke Labuan bajo. Namun kejutan belum berakhir, ibu-ibu ternyata telah menyiapkan oleholeh: buah jeruk dan alpukat. Kami baru sadar, warga desa Wae Sano tidak sekadar memandang kami sebagai wisatawan. Ini seperti berlibur sembari menyambangi sanak keluarga.

Berbekal bentang alam, kebudayaan dan keragaman hayati yang kaya, kawasan Sano Nggoang pantas menjadi destinasi pariwisata masa depan. Kawasan ini dapat dikembangkan sebagai pariwisata berbasis masyarakat dengan aneka sisi ekowisata: budaya, pemandangan alam dan burung-burungnya.

(Sisipan National Geographic Traveller edisi November 2011)


Tuesday, June 21, 2011

Upaya Adaptasi dari Masyarakat Manggarai

Fahrul Amama

Diskusi siang itu di Desa Cunca Lolos, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, berlangsung dengan hangat. Terkadang mereka terlibat perdebatan sengit. Barangkali tak kalah sengitnya dengan perdebatan negosiator perubahan iklim dalam konferensi di Cancun, Meksiko sana, saat pertemuan tingkat tinggi yang membahas mengenai perubahan iklim dunia.

Ya, warga desa yang sebagian besar petani itu tengah berdebat mengenai siapa yang bertanggung jawab atas perubahan iklim yang tengah berlangsung. Mereka sangat tidak terima kalau dikatakan sektor pertanian menyumbangkan emisi yang mengakibatkan efek rumah kaca. “Kalau pertanian menjadi penyebab perubahan iklim, berarti pertanian harus dilarang. Lalu bagaimana masyarakat bisa makan kalau begitu?” ungkap salah satu peserta diskusi.

Warga yang lain mempertanyakan soal upaya pelestarian hutan. Menurut mereka, kalau kita saja yang menjaga hutan akan sia-sia. Karena di banyak tempat di Indonesia, hutan terus dibabat hingga luasannya terus menyempit. Vincensius Baru (Ketua Kelompok Pembangunan Masyarakat) dengan bersemangat mengemukakan pendapatnya, ”Harusnya negara-negara di dunia berkumpul dan sepakat untuk menghentikan industri yang menjadi penyebab utama perubahan iklim.”

Tetapi kemudian mereka juga menyadari, kadangkala hal terbaik yang bisa dilakukan terhadap kondisi yang telanjur terjadi – meskipun sebenarnya tidak kita inginkan – adalah beradaptasi dan sebisa mungkin mengambil manfaat terbaik dari situasi tersebut. Mereka kemudian melanjutkan diskusi dengan membahas upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim.

Kerentanan masyarakat

Perubahan iklim memberikan dampak spesifik bagi bidang pertanian dan pangan. Dampak tersebut berupa kenaikan suhu yang melewati ambang batas suhu optimal bagi pertumbuhan tanaman, berkurangnya kesuburan ternak disebabkan stres akibat cuaca yang panas, penurunan sediaan air serta peningkatan kebutuhan air untuk irigasi, maupun peningkatan curah hujan secara ekstrim. Selain itu perubahan iklim juga berpengaruh terhadap perubahan distribusi dan produktivitas tanaman, serta punahnya berbagai jenis satwa liar endemik dan lokal.

Kerentanan sangat terkait dengan kehidupan masyarakat miskin yang bergantung kepada sumber daya alam. Ironisnya, kondisi kerentanan yang mereka hadapi saat ini bukan sekadar situasi yang tidak mengenakkan dan tidak dapat ditolak. Kondisi tersebut hadir sebagai sebuah ketidakadilan. Betapa tidak, masyarakat Manggarai yang tinggal di sekitar hutan, yang telah menjadi masyarakat yang ramah terhadap iklim, justeru sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Gaya hidup mereka rendah karbon, dan bahkan berkontribusi mengurangi karbon atmosfer. Namun, mereka justru menjadi salah satu kelompok paling rentan saat ini.

Yoppy Hidayanto, koordinator Knowledge Center Burung Indonesia, mengatakan, peranan hutan untuk adaptasi perubahan iklim sering terlupakan dalam pembicaraan perubahan iklim. Padahal, banyak masyarakat bergantung dari sumber daya alam yang terancam makin sulit didapat karena dampak perubahan iklim. “Hutan adalah gantungan langsung bagi masyarakat yang paling rentan dampak negatif perubahan iklim”, imbuhnya.

Menurut Laura Smelter, relawan VIDA (Volunteering for International Development from Australia), tingkat kerentanan yang ada di masyarakat tergantung pula kepada kegiatan mata pencaharian utama yang dilakukan oleh masyarakat, serta sumber daya yang dimiliki. Masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya yang terancam akibat perubahan iklim memiliki kerentanan lebih tinggi. Karena itu, dalam upaya mengurangi kerentanan masyarakat, kemampuan adaptasi masyarakat harus ditingkatkan.

Adaptasi Menghadapi Dampak Perubahan Iklim

Kemampuan beradaptasi sangat penting karena ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa proses pemanasan global dan perubahan iklim tidak mungkin dihentikan dalam jangka pendek. Emisi dari kegiatan kita di masa lalu akan menyebabkan perubahan dalam sistem iklim global sepanjang abad mendatang. Adaptasi juga diperlukan untuk menyiagakan masyarakat menghadapi perubahan dan ketidaktentuan masa depan.

Karenanya kita perlu mempromosikan adaptasi perubahan iklim di tingkat masyarakat dengan baik. Kegiatan ini harus melibatkan para pihak dari semua lapisan masyarakat untuk memfokuskan kepada kerentanan perubahan iklim lokal. Untuk kepentingan penyiagaan masyarakat, Perhimpunan Burung Indonesia bekerjasama dengan masyarakat Desa Cunca Lolos, melaksanakan diskusi mengenai adaptasi menggunakan metode CRiSTAL (Community Risk Screening Tool – Adaptation and Livelihoods). Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan masyarakat, mengenali dampak positif dan negatif perubahan iklim serta memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang ada di masyarakat.

Diskusi di Desa Cuncalolos dilakukan dalam dua sesi, seperti yang disampaikan oleh Dwi Retno Rahayuni, fasilitator diskusi dari Burung Indonesia. Diskusi awal lebih banyak berisi sosialisasi mengenai perubahan iklim, dengan kondisi cuaca yang berubah-ubah menjadi isu yang mengawali perbincangan. Diskusi kedua membahas dampak yang mereka hadapi serta strategi yang bisa ditawarkan.

Melalui diskusi ini, masyarakat memperoleh pengetahuan dasar mengenai perubahan iklim dan mengidentifikasi ancaman yang mereka hadapi terkait dampaknya, sehingga menyadari permasalahan yang dihadapi dan dapat menentukan strategi menghadapinya. Masyarakat juga dapat berbagi informasi karena pertemuan menjadi media berbagi pengalaman. Masyarakat di tempat lain akan lebih ‘aware’ dengan isu mitigasi dan adaptasi, sehingga dapat bersama-sama memperbaiki strategi yang telah ada menghadapi dampak perubahan iklim. Mereka juga menjadi lebih percaya diri dalam berdiskusi merumuskan masalah dan menentukan strategi.

Dari diskusi di Desa Cunca Lolos diketahui, ternyata adaptasi telah mereka lakukan tanpa mereka sadari. Ada yang mencoba memakai atap untuk melindungi tanaman dari curah hujan yang terlalu tinggi, ada yang membuat bedeng supaya tanaman tidak terendam banjir. Ada pula yang muncul dengan ide mengembangkan ternak babi saat curah hujan ekstrim melanda. Cuaca itu sangat cocok untuk menanam ubi/talas yang menjadi makanan babi. Hasil penjualan babi dapat dijual untuk dijadikan modal pada saat kekeringan melanda. Adaptasi juga mereka lakukan melalui perubahan pola tanam dengan pemilihan jenis tanaman yang cocok dengan curah hujan tinggi seperti tanaman sayur di pekarangan.

Diskusi ini juga menjadi tambahan informasi bagi banyak pihak (pemerintah maupun swasta) terkait hubungannya dengan proyek maupun program yang ditujukan untuk membantu masyarakat sehingga menjadi lebih efektif. Strategi yang telah mereka terapkan mungkin lebih efektif daripada yang ditawarkan atau direncanakan oleh proyek. Karenanya mengetahui strategi apa yang bisa ditawarkan oleh masyarakat menjadi penting dalam mengembangkan program yang lebih tepat sasaran.

Perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi alam, tetapi juga manusia, produktivitas serta mata pencaharian masyarakat. Karena itu, dampak perubahan iklim dan cuaca yang berubah-ubah harus pula menjadi pertimbangan dalam program yang dikembangkan di tingkat masyarakat. Fasilitator dapat berperan menyiapkan kondisi optimal agar mereka dapat melakukan adaptasi.

Masyarakat bisa memanfaatkan potensi dampak positif untuk membangun strategi lebih optimal. Namun mereka memiliki keterbatasan dalam menerapkan strategi yang mereka telah tentukan, seperti keterbatasan informasi, teknologi, modal maupun kemampuan negoisasi dengan pihak pemerintah. Yang penting dipahami adalah, setiap orang memiliki naluri adaptasi, dengan cara yang berbeda-beda. Selain itu, masyarakat selalu memiliki solusi sendiri untuk masalah yang mereka hadapi. Seperti yang kita peroleh dari hasil diskusi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai.*

Thursday, May 05, 2011

Om Niu: Penemu Manuk Niu

Fahrul P Amama
P
agi itu, ketika matahari mulai menerobos pepohonan, Anius Dadowali mulai menuruni lembah yang terjal. Tangan dan kakinya yang kekar dengan sigap menapaki jalur yang licin dan berbatu. Tugasnya mengambil air di sungai kecil di dasar lembah harus tuntas sebelum matahari meninggi. Awan yang menggantung di bulan Oktober yang basah membuatnya khawatir, sebentar lagi hujan. Kesigapannya menjadi penting agar tim peneliti yang membuka base camp di atas punggungan bisa segera menyiapkan makanan mereka.


Om Niu (kanan) bersama Om Eping sahabatnya pengelana hutan Sahendaruman.

Pegunungan Sahendaruman merupakan jejeran pegunungan berbentuk tapal kuda di bagian selatan Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Pegunungan yang merupakan kawah tua dari bekas gunung berapi itu berjarak sekitar 80 km dari Tahuna, ibukota Kabupaten Sangihe. Bagi ayah tiga anak yang akrab dipanggil Om Niu itu, hutan di Pegunungan Sahendaruman memang menjadi rumahnya. Hampir setiap hari dia masuk kawasan hutan yang luasnya 500 hektar untuk mencari rotan dan liana. Tak heran kalau dia hafal hampir setiap relung hutan di Pegunungan Sahendaruman.

Saat tiba di mata air, Om Niu langsung menyiapkan jergen plastik untuk diisi air. Ini sudah menjadi pekerjaan rutin setiap pagi sejak dia bergabung dengan tim peneliti. Tetapi, waktu mengisi air di jergen plastik, matanya yang sipit berkerut menangkap kelebatan burung berwarna biru yang melintas di antara belantara pohon dan liana yang berlumut tebal. Pengetahuannya tentang burung-burung di hutan Sahendaruman yang mumpuni membuat instingnya langsung bereaksi. Selama ini tak pernah dia lihat burung berwarna biru. Kalau memang yang berkelebat itu burung dan berwarna biru, tentulah burung langka. Dengan degup jantung yang makin kencang segera dia mencari burung yang membuat hatinya berdesir.

Sejurus kemudian dia mendapatkan burung itu hinggap tak jauh dari tempat dia mengambil air. Tak banyak detil yang bisa dia dapat dari pengamatan tanpa teropong. Tapi dengan mata telanjang dia sudah bisa memberikan sedikit gambaran, deskripsi yang cukup untuk disampaikan kepada tim peneliti saat dia melaporkannya nanti. Dari jarak yang agak dekat dia dapat melihat tubuh burung bagian bawah yang berwarna kelabu, bagian atas berwarna biru langit dengan lingkar mata berwarna putih. Jelas sekali, ini burung yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya.

Burung biru yang tak betah bertengger itu terbang berpindah-pindah dari dahan satu ke dahan lain, mengikuti tupai yang terlihat sibuk. Gerakan tupai itu mengusik serangga-serangga kecil yang menjadi santapan si burung biru. Om Niu terus mengikuti gerak-gerik burung biru itu sampai menghilang di dalam kanopi hutan. Tak berlama-lama di mata air, Anius segera kembali ke base camp untuk melaporkan temuan burung biru yang menarik itu kepada tim peneliti.

Mendengar laporan Om Niu, semua anggota tim peneliti segera bergegas turun ke lembah. Lupakan soal sarapan dan makan siang. Mereka ingin segera ke mata air untuk membuktikan temuannya. Tiba di lokasi, mereka mengambil posisi masing-masing dan mengendap-ngendap di semak seperti pasukan Amerika dalam perang Vietnam. Dalam senyap mereka mencari-cari burung biru di antara rimbun pepohonan, sambil sesekali mengarahkan teropong ke arah tajuk hutan. Anius kemudian memberi kode dan menunjuk ke arah pohon tempat sang burung biru bertengger.

Semua teropong mengarah ke burung biru tersebut. Selama beberapa detik, tak ada suara yang keluar, tapi senyuman satu persatu muncul dari wajah para peneliti itu. Senyum itu terus melekat sepanjang pengamatan mereka. Ekspresi yang menggambarkan kekaguman bercampur kegembiraan dan kepuasan. Seolah mewakili sepotong kalimat melankolis, usai sudah pencarian ini.

Setelah puas menyaksikannya mereka kemudian berjalan kembali ke base camp. Mereka tetap tak bersuara, hingga sesaat setelah tiba di base camp semuanya bersorak serentak meluapkan kegembiraan. Ada air mata bahagia, ada senyum yang membuncah, dan wajah sumringah. Om Niu menyaksikan semua ungkapan perasaan itu sambil tersenyum biasa saja. Setiap kali anggota tim menyalaminya dan memberi selamat, Om Niu tetap tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia tersipu-sipu dengan cara yang bersahaja. Om Niu sama sekali tak merasa telah melakukan hal yang heroik untuk dunia ilmu pengetahuan.

Om Niu tak pernah menyangka burung biru yang ditemukannya itu kemudian mengejutkan ahli burung seantero jagad. Tadinya dia hanya tahu bahwa burung biru itu memang dicari-cari oleh tim peneliti dari Inggris dan Indonesia. Sudah berbulan-bulan mereka melakukan survei di pegunungan Sahendaruman tanpa pernah bersua. Ini kali kedua mereka datang setelah tahun sebelumnya para peneliti harus pulang dengan tangan hampa.

Sebagai seorang petani dari desa di pelosok Sangihe, Om Niu tak pernah mengecap pendidikan formal yang baik dan benar. Bahkan SD pun tak lulus. Seperti kebanyakan anak di desanya, Ulung Peliang, sekolah selesai begitu mereka bisa berhitung dan membaca. Cukup supaya mereka tak ditipu orang kota. Tak banyak yang sampai khatam SD, apalagi yang meneruskan ke jenjang lebih tinggi.

Kalau orang menanyakan umurnya, dia akan cepat menjawab 38 tahun. Tapi jangan coba menanyakan tanggal lahir Om Niu. Dia akan kembali garuk-garuk kepala. Mungkin hanya Tuhan yang mengetahuinya. Orang-orang di desanya tak terbiasa mencatat tanggal kelahiran anak-anaknya. Apalagi mengurus akta kelahiran.

Om Niu terpilih sebagai anggota tim karena dialah orang di desanya yang paling kenal seluk beluk hutan di Pegunungan Sahendaruman. Dari pengalamannya keluar masuk hutan, Om Niu dapat mengenali berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang ada di hutan dan menyebutkan nama lokalnya. Dia tak menyangka pengetahuannya dibutuhkan oleh tim peneliti, kumpulan orang-orang pintar yang sedang mencari burung yang hilang.

Sekian lama Om Niu membantu tim peneliti sebagai porter, tak pernah dia menyadari sumbangsihnya bagi dunia ilmu pengetahuan. Dialah orang pertama yang menemukan burung khas sangihe nan langka, setelah 120 tahun tak pernah terlihat lagi. Meski pada akhirnya, peran Om Niu hanya diperlihatkan dalam bagian ucapan terima kasih pada sebuah artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.

Dari penuturan Jon Riley, ketua tim peneliti, Om Niu baru tahu kalau jenis burung itu adalah seriwang sangihe, salah satu burung paling langka di Asia saat ini. Dari Jon pula Om Niu kemudian tahu kalau seriwang sangihe yang memiliki nama ilmiah Eutrichomyias rowleyi pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti asal Jerman pada tahun 1874, dan sejak saat itu tidak pernah lagi terlihat hingga penemuan mengejutkan di lembah Sahengbalira.

Om Niu juga tidak mengira kalau seriwang sangihe hampir saja divonis punah oleh ahli burung, kalau saja dia tak menemukannya kembali di Pegunungan Sahendaruman. Sebelas tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Mei 1987, jurnal Conservation Biology terbit dengan sampul ilustrasi seriwang sangihe dan memuat paper ilmiah yang menyebutkan bahwa burung itu telah punah. Kalau saja seriwang sangihe tidak ditemukan Om Niu, mungkin dunia ilmiah akan melupakannya. Mungkin juga tak akan ada aksi pelestarian jenis kebanggaan masyarakat Sangihe itu, dan masyarakat semakin tak peduli dengan hutan di Sahendaruman, tempat Om Niu dan masyarakat lainnya mencari penghidupan.

Tapi Om Niu cukup bangga ketika kemudian masyarakat di Sangihe kemudian sepakat memberi nama sangihe untuk burung temuannya Manuk Niu, persis seperti namanya. Sudah banyak orang-orang tua dan tokoh adat yang ditanya tentang nama Sangihe untuk burung seriwang sangihe, tak satupun yang mengetahuinya. Begitu langkanya burung ini, hingga hanya sedikit orang yang pernah melihatnya dan khasanah bahasa di Sangihe tak sempat merekam sebuah nama untuknya.

Kalau ada yang membaca buku Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara), akan dapat menemukan nama Niu di dalamnya. Pada buku yang disusun oleh B J Coates dan K D Bishop dan edisi bahasa Indonesianya itu terdapat keterangan tentang jenis burung seriwang sangihe. Pada bagian deskripsi jenis disebutkan nama lokalnya, yaitu burung niu. Nama yang diambil dari nama Om Niu, penemu burung langka dari Desa Ulung Peliang.*