Monday, October 30, 2006

Burung-burung yang “Berlayar”
(Jejak-jejak Perdagangan Nuri Talaud)
Fahrul P. Amama
Bagian Pertama

Om Yan Loronusa, seorang ratumbanua (pemangku adat) di Kampung Ensem, Kecamatan Essang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, bakal kaget kalo mendapat kesempatan mengunjungi Natural History Musium di London. Soalnya di sana dia bisa melihat burung nuri talaud yang telah diawetkan di salah satu diorama di bagian depan musium. Boleh jadi dia bakal bertanya ke pemandu, gimana caranya sampai burung yang asalnya dari Talaud itu bisa “bertengger” di salah satu musium terkenal di Eropa. Dan sang pemandu akan menjawab,”Dengan berlayar menyeberangi samudera, Om.”
Kita pun mungkin akan sama terkejutnya jika mengetahui bahwa burung tersebut telah sampai di Eropa melalui jalur pelayaran abad ke XVIII. Nuri talaud (Eos histrio) merupakan jenis endemik di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Di Talaud burung ini memiliki nama lokal Sampiri, sementara masyarakat di Sangihe mengenalnya sebagai Sumpihi. Kisah pelayaran burung-burung ini sedikit banyak telah mengungkapkan jejak-jejak perdagangan nuri talaud sejak ratusan tahun yang lalu. Jika ditelusuri lebih jauh, perdagangan nuri talaud boleh jadi telah berlangsung sejak lama sekali. Dan kisah perdagangan nuri talaud harus ditarik ke ratusan tahun yang lalu, di abad XVIII.

Kedatangan Bangsa Barat dan Interaksi Talaud Dengan Negeri Tetangga
Kedatangan bangsa asing sekitar abad XVIII, tak dapat dibantah, merupakan salah satu faktor yang ikut membuka peluang dimulainya bisnis perdagangan satwa, terutama burung. Souvenir-souvenir berupa burung awetan yang dikirim para pelaut Eropa, telah menarik minat kalangan kolektor maupun naturalis dan ahli biologi yang bekerja di berbagai musium di Eropa.

Nuri talaud telah dikenal dunia ilmiah sejak tahun 1760 yang ditetapkan sebagai jenis sendiri berdasarkan specimen yang dikirim ke musium. Tahun 1885 Sidney J. Hickson, seorang naturalis berkebangsaan Inggris, melakukan perjalanan ke Sangihe dan Talaud. Alkisah, pada tanggal 16 November 1885 beliau tiba di Talaud dan berlabuh di Lirung. Di Pulau Salibabu ini, masyarakat menjual dan memberi hadiah beberapa ekor Nuri Talaud kepada awak kapalnya. Nah, Hickson memperoleh tiga ekor spesimen nuri talaud dari perjalanan ini. Kisah perjalanannya ini diceritakan dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1889.
Seorang naturalis lain bernama Dr. Murray juga memberitahu, saat beliau tinggal di atas kapal Challenger, mereka bertemu perahu dari Miangas berisi 22 orang yang membawa tikar dan empat ekor burung nuri yang masih hidup dalam keadaan terborgol oleh cincin yang terbuat dari tempurung kelapa. Empat ekor nuri talaud itu mereka bawa untuk ditukar dengan tembakau. Ini dikisahkan oleh St. G. Mivart dalam bukunya yang terbit tahun 1898. Laporan-laporan naturalis yang datang ke Talaud sedikit banyak memberikan gambaran bahwa nuri talaud telah lama dijualbelikan sebagai souvenir maupun sebagai komoditi yang bernilai tinggi. Ini dapat menjadi indikasi bahwa perdagangan Sampiri sebenarnya telah berlangsung sejak lama sekali.

Catatan-catatan perjalanan para pelaut Eropa seperti Pieter Alsten dan David Haak maupun Magelhaens, yang berkunjung ke kepulauan Talaud sekitar abad XVI dan XVII juga mengungkapkan bahwa penduduk Kepulauan Sangihe sudah sering melakukan pelayaran ke Filipina, Siam (Thailand), dan Cina. Kisah peperangan yang melibatkan kerajaan Tabukan di Sangihe, Kerajaan Ternate, dengan Spanyol maupun Portugis di sekitar perairan Mindanau dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, juga mengindikasikan adanya hubungan antara kerajaan di Sangihe

dan Ternate yang sudah cukup erat. Dalam masa ini, kehadiran pelaut Sangihe di pulau Karakelang tidak terelakkan. Hingga saat ini kedatangan orang Sangihe di kampung Bowombaru, Karakelang, masih menjadi cerita sejarah bercampur legenda dan mistik yang diturunkan dari mulut ke mulut.
Orang-orang tua di kampung Bowombaru mengatakan, sekitar tahun 1948 mereka sudah berlayar ke Filipina membawa kopra, cengkeh dan nuri talaud untuk dijual. Keterangan dari masyarakat kampung Bowombaru di Pulau Karakelang (Talaud) bahkan menyebutkan bahwa mereka sudah sering berlayar ke Filipina dan Sangihe sejak lama sekali dengan menggunakan perahu layar kecil bercadik. Kadang mereka sampai terdampar hingga di Halmahera serta Pulau Palau (Republik Palau).

(Foto Diorama London Natural History Museum oleh Tisna Nando, FFI)

Burung-burung yang “Berlayar”
(Jejak-jejak Perdagangan Nuri Talaud)
Fahrul P. Amama
Bagian Kedua

Penyelundupan dan Keberadaan Kapal Ikan Filipina

Menurut keterangan masyarakat di Kampung Apan, Talaud, kegiatan penyelundupan kopra dan cengkeh berlangsung marak sekitar tahun 1963. Selain Mindanao Selatan (Filipina), tujuan penyelundupan juga sampai ke Tawau (Malaysia). Pelaut Sangihe menguasai jalur perdagangan dari Halmahera-Sangihe-Mindanao Selatan. Sementara pelaut Bugis dan Talaud lebih cenderung ke Tawau. Mereka berhubungan dengan kelompok penyelundup di Tawau dan Mindanao yang membawa barang selundupan dengan menggunakan kompit (kapal kayu berbobot mati 12-15 ton). Selain kopra dan cengkeh, burung nuri menjadi salah satu komoditi favorit yang cukup tinggi harganya. Keterangan masyarakat menyebutkan, selain nuri ternate, penyelundup Sangihe juga membawa sejenis nuri dari Sangihe yang menurut mereka memiliki corak warna yang sama dengan nuri talaud.
Keterangan dari orang Filipina yang tinggal di Melonguane, Talaud, menyebutkan bahwa sekitar tahun 1990-an, General Santos mulai kehabisan pasokan ikan akibat overfishing yang terjadi di perairan Filipina. Namun kondisi ini tidak berpengaruh besar terhadap produktivitas pabrik pengalengan ikan disana yang dikenal sebagai produsen ikan kaleng terbesar di Asia. Ini dikarenakan ekspansi daerah operasional armada kapal ikan mereka di perairan yang sudah masuk wilayah NKRI. Pengawasan teritorial oleh TNI AL yang sangat lemah membuat kapal-kapal pukat dan penampung ikan Filipina berkeliaran bebas di wilayah perairan RI. Lebih parah lagi, mereka bermitra dengan pengusaha lokal di Sulawesi Utara dan membuat mereka dapat leluasa beroperasi di perairan Maluku, Sulawesi, dan Sangihe dan Talaud dengan berbendera Indonesia.
Jalur pelayaran yang cukup jauh ini membuat kapal-kapal tersebut seringkali terpaksa singgah di Karakelang karena kehabisan air minum atau kerusakan mesin. Ini membuka kembali kontak dagang ilegal antara orang Filipina dan orang Talaud di pesisir Timur Karakelang. Sialnya, para awak kapal ikan Filipina tersebut juga melakukan bisnis burung sebagai usaha sampingan mereka yang sangat menguntungkan. Selain nuri talaud, ribuan ekor nuri dari Ternate dibawa ke Filipina melalui jalur ini. Burung-burung ini dijual dengan harga Rp. 25.000 – Rp. 50.000 per ekor. Perdagangan nuri talaud seringkali dilakukan pula melalui sistem barter untuk ditukar dengan panci alumunium, penggorengan, sangkur, dan minuman keras (Tanduay, London Gin, dan minuman berakohol lainnya). Bisnis ini melanggar ketentuan internasional karena nuri talaud merupakan satwa dilindungi yang masuk dalam Appendix I CITES dan tidak boleh diperdagangkan antar negara.

(Ilustrasi Nuri Talaud oleh Fahrul P. Amama, Yayasan Sampiri, 2001)
Burung-burung yang “Berlayar”
(Jejak-jejak Perdagangan Nuri Talaud)
Fahrul P. Amama
Bagian Ketiga

Fenomena Indofin

Interaksi masyarakat Sangihe dan Talaud dengan masyarakat
di Filipina Selatan sejak dahulu, serta keterbatasan lahan membuat emigrasi penduduk dari Sangihe maupun Talaud berlangsung dengan intensitas yang cukup tinggi. Pulau Balut, sebuah pulau yang terletak di dekat Mindanao Selatan, saat ini sebagian besar didiami oleh orang-orang dari etnis Sangihe. Mereka menetap disana dan mulai membuka lahan pertanian seperti kelapa dan cengkeh. Semakin lama populasi di pulau tersebut semakin bertambah. Keterdesakan, persaingan dan konflik dengan penduduk asli yang berasal dari Mindanao, membuat penduduk etnis Sangihe-Talaud yang mendiami pulau tersebut menyebar ke pesisir selatan pulau Mindanau yang masih kosong. Mereka menetap disana sampai saat ini hingga melahirkan warga Filipina keturunan Indonesia (Indo-Fin). Sebagian dari mereka masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan etnis Sangihe-Talaud di kampung-kampung di Karakelang seperti Bowombaru, hingga terjadilah kunjungan “silaturahmi”.
Kebiasaan saling mengunjungi ini membuka hubungan dagang tradisional sekaligus ilegal. Keturunan Indonesia-Filipina ini rata-rata menguasai Bahasa Indonesia atau Sangihe maupun Talaud, serta Tagalog ataupun Bahasa Inggris, sehingga memudahkan mereka dalam hubungan dagang. Para indofin ini datang menggunakan pumpboat (sejenis perahu bercadik khas Filipina) dengan membawa berbagai barang dagangan. Barang dagangan tersebut dibawa ke kampung Apan maupun Bowombaru untuk ditukar dengan nuri talaud, yang lebih mudah dibawa dalam perahu kecil ketimbang kopra atau cengkeh. Merekalah yang saat ini menggantikan kapal-kapal ikan Filipina yang sudah jarang datang.
Berdagang secara ilegal ini dilakukan dengan melalui Border-Crossing Area (BCA) di Miangas untuk mengurus izin tinggal sementara (biasanya untuk waktu satu bulan dengan alasan mengunjungi sanak keluarga). Setelah itu mereka datang ke salah satu kampung di Karakelang dan memesan nuri talaud dari kampung-kampung yang menjadi basis para penangkap. Kemudian selama sebulan mereka bolak-balik Filipina-Talaud membawa nuri talaud tanpa melalui BCA lagi. Bisnis ini terus berlangsung sampai sekarang dan masih mengikuti jalur pelayaran leluhur mereka. Tempat-tempat persingahan pun tetap sama seperti dulu. Untuk Sangihe: Mindanao, Marore, Kawaluso/Tinakareng, dan Peta (bahkan sampai ke Halmahera dan Papua). Sedangkan Talaud: Mindanao, Miangas, dan Bowombaru/Apan.

Kondisi Saat Ini
Perdagangan nuri talaud ini terus berlanjut hingga sekarang, walaupun saat ini nuri talaud (Sampiri) telah menjadi satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun1999. Perdagangan ilegal nuri talaud telah menjadi bisnis yang sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak orang. Jalinan antara penangkap, penadah, pedagang perantara, dan pedagang besar, telah membentuk jaringan yang menghubungkan Talaud, Jakarta, Filipina dan Singapura.
Action Sampiri (1999) melaporkan bahwa kegiatan penangkapan dan perdagangan nuri talaud mulai marak sekitar akhir 1980-an. Adanya pesanan dari Jakarta dalam jumlah besar (sekitar 2500 ekor) yang konon katanya untuk taman burung di Taman Mini Indonesia Indah, telah memicu kegiatan penangkapan nuri talaud secara besar-besaran. Sementara kedatangan kapal ikan Filipina dan interaksinya dengan masyarakat di pesisir Timur Karakelang telah memberi peluang bagi perdagangan nuri talaud menjadi bisnis yang memiliki pasar luar negeri. Setiap tahunnya, ribuan ekor nuri talaud dijual keluar dalam kurun waktu antara 1996-1999.
Sebagian besar nuri talaud dijual ke Filipina, sementara sebagian kecil lainnya dijual ke daerah lain di Indonesia melalui Manado. Organisasi TRAFFIC juga melaporkan bahwa lebih dari 500 ekor burung sampiri telah datang ke Singapura dari Indonesia antara bulan April dan Desember 1992. Laporan hasil investigasi Yayasan Sampiri menyebutkan bahwa perdagangan nuri talaud masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kalkulasi kasar berdasarkan hasil investigasi Yayasan Sampiri tahun 2003, total burung nuri talaud yang diperdagangkan di 3 kampung yang menjadi basis penangkap selama periode 8 tahun terakhir adalah sekitar 6.480 ekor, atau rata-rata sekitar 810 ekor per tahun.
Sarana perhubungan yang terbatas, ketrampilan masyarakat sangat rendah, ketidak-tahuan masyarakat umum, dan ketidak-mengertian anggota legislatif menjadi faktor pemicu perdagangan nuri talaud. Lemahnya pengawasan baik yang dilakukan TNI AL di wilayah perbatasan maupun KSDA, kepolisian, dan pemerintah kecamatan di kampung-kampung pesisir menjadi kendala dalam mengurangi tekanan terhadap populasi nuri talaud akibat perdagangan ilegal. Sementara pemberdayaan hukum yang lemah dan sikap yang korup telah turut melestarikan kegiatan bisnis ilegal ini.

(Ilustrasi: Nuri Talaud oleh Fahrul P. Amama, Action Sampiri 1999)