Burung-burung yang “Berlayar”
(Jejak-jejak Perdagangan Nuri Talaud)
Fahrul P. Amama
Fahrul P. Amama
Bagian Ketiga
Fenomena Indofin
Interaksi masyarakat Sangihe dan Talaud dengan masyarakat di Filipina Selatan sejak dahulu, serta keterbatasan lahan membuat emigrasi penduduk dari Sangihe maupun Talaud berlangsung dengan intensitas yang cukup tinggi. Pulau Balut, sebuah pulau yang terletak di dekat Mindanao Selatan, saat ini sebagian besar didiami oleh orang-orang dari etnis Sangihe. Mereka menetap disana dan mulai membuka lahan pertanian seperti kelapa dan cengkeh. Semakin lama populasi di pulau tersebut semakin bertambah. Keterdesakan, persaingan dan konflik dengan penduduk asli yang berasal dari Mindanao, membuat penduduk etnis Sangihe-Talaud yang mendiami pulau tersebut menyebar ke pesisir selatan pulau Mindanau yang masih kosong. Mereka menetap disana sampai saat ini hingga melahirkan warga Filipina keturunan Indonesia (Indo-Fin). Sebagian dari mereka masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan etnis Sangihe-Talaud di kampung-kampung di Karakelang seperti Bowombaru, hingga terjadilah kunjungan “silaturahmi”.
Kebiasaan saling mengunjungi ini membuka hubungan dagang tradisional sekaligus ilegal. Keturunan Indonesia-Filipina ini rata-rata menguasai Bahasa Indonesia atau Sangihe maupun Talaud, serta Tagalog ataupun Bahasa Inggris, sehingga memudahkan mereka dalam hubungan dagang. Para indofin ini datang menggunakan pumpboat (sejenis perahu bercadik khas Filipina) dengan membawa berbagai barang dagangan. Barang dagangan tersebut dibawa ke kampung Apan maupun Bowombaru untuk ditukar dengan nuri talaud, yang lebih mudah dibawa dalam perahu kecil ketimbang kopra atau cengkeh. Merekalah yang saat ini menggantikan kapal-kapal ikan Filipina yang sudah jarang datang.
Berdagang secara ilegal ini dilakukan dengan melalui Border-Crossing Area (BCA) di Miangas untuk mengurus izin tinggal sementara (biasanya untuk waktu satu bulan dengan alasan mengunjungi sanak keluarga). Setelah itu mereka datang ke salah satu kampung di Karakelang dan memesan nuri talaud dari kampung-kampung yang menjadi basis para penangkap. Kemudian selama sebulan mereka bolak-balik Filipina-Talaud membawa nuri talaud tanpa melalui BCA lagi. Bisnis ini terus berlangsung sampai sekarang dan masih mengikuti jalur pelayaran leluhur mereka. Tempat-tempat persingahan pun tetap sama seperti dulu. Untuk Sangihe: Mindanao, Marore, Kawaluso/Tinakareng, dan Peta (bahkan sampai ke Halmahera dan Papua). Sedangkan Talaud: Mindanao, Miangas, dan Bowombaru/Apan.
Kondisi Saat Ini
Perdagangan nuri talaud ini terus berlanjut hingga sekarang, walaupun saat ini nuri talaud (Sampiri) telah menjadi satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun1999. Perdagangan ilegal nuri talaud telah menjadi bisnis yang sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak orang. Jalinan antara penangkap, penadah, pedagang perantara, dan pedagang besar, telah membentuk jaringan yang menghubungkan Talaud, Jakarta, Filipina dan Singapura.
Action Sampiri (1999) melaporkan bahwa kegiatan penangkapan dan perdagangan nuri talaud mulai marak sekitar akhir 1980-an. Adanya pesanan dari Jakarta dalam jumlah besar (sekitar 2500 ekor) yang konon katanya untuk taman burung di Taman Mini Indonesia Indah, telah memicu kegiatan penangkapan nuri talaud secara besar-besaran. Sementara kedatangan kapal ikan Filipina dan interaksinya dengan masyarakat di pesisir Timur Karakelang telah memberi peluang bagi perdagangan nuri talaud menjadi bisnis yang memiliki pasar luar negeri. Setiap tahunnya, ribuan ekor nuri talaud dijual keluar dalam kurun waktu antara 1996-1999.
Sebagian besar nuri talaud dijual ke Filipina, sementara sebagian kecil lainnya dijual ke daerah lain di Indonesia melalui Manado. Organisasi TRAFFIC juga melaporkan bahwa lebih dari 500 ekor burung sampiri telah datang ke Singapura dari Indonesia antara bulan April dan Desember 1992. Laporan hasil investigasi Yayasan Sampiri menyebutkan bahwa perdagangan nuri talaud masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kalkulasi kasar berdasarkan hasil investigasi Yayasan Sampiri tahun 2003, total burung nuri talaud yang diperdagangkan di 3 kampung yang menjadi basis penangkap selama periode 8 tahun terakhir adalah sekitar 6.480 ekor, atau rata-rata sekitar 810 ekor per tahun.
Sarana perhubungan yang terbatas, ketrampilan masyarakat sangat rendah, ketidak-tahuan masyarakat umum, dan ketidak-mengertian anggota legislatif menjadi faktor pemicu perdagangan nuri talaud. Lemahnya pengawasan baik yang dilakukan TNI AL di wilayah perbatasan maupun KSDA, kepolisian, dan pemerintah kecamatan di kampung-kampung pesisir menjadi kendala dalam mengurangi tekanan terhadap populasi nuri talaud akibat perdagangan ilegal. Sementara pemberdayaan hukum yang lemah dan sikap yang korup telah turut melestarikan kegiatan bisnis ilegal ini.
(Ilustrasi: Nuri Talaud oleh Fahrul P. Amama, Action Sampiri 1999)
No comments:
Post a Comment