Fahrul Amama
Diskusi siang itu di Desa Cunca Lolos, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, berlangsung dengan hangat. Terkadang mereka terlibat perdebatan sengit. Barangkali tak kalah sengitnya dengan perdebatan negosiator perubahan iklim dalam konferensi di Cancun, Meksiko sana, saat pertemuan tingkat tinggi yang membahas mengenai perubahan iklim dunia.
Ya, warga desa yang sebagian besar petani itu tengah berdebat mengenai siapa yang bertanggung jawab atas perubahan iklim yang tengah berlangsung. Mereka sangat tidak terima kalau dikatakan sektor pertanian menyumbangkan emisi yang mengakibatkan efek rumah kaca. “Kalau pertanian menjadi penyebab perubahan iklim, berarti pertanian harus dilarang. Lalu bagaimana masyarakat bisa makan kalau begitu?” ungkap salah satu peserta diskusi.
Warga yang lain mempertanyakan soal upaya pelestarian hutan. Menurut mereka, kalau kita saja yang menjaga hutan akan sia-sia. Karena di banyak tempat di Indonesia, hutan terus dibabat hingga luasannya terus menyempit. Vincensius Baru (Ketua Kelompok Pembangunan Masyarakat) dengan bersemangat mengemukakan pendapatnya, ”Harusnya negara-negara di dunia berkumpul dan sepakat untuk menghentikan industri yang menjadi penyebab utama perubahan iklim.”
Tetapi kemudian mereka juga menyadari, kadangkala hal terbaik yang bisa dilakukan terhadap kondisi yang telanjur terjadi – meskipun sebenarnya tidak kita inginkan – adalah beradaptasi dan sebisa mungkin mengambil manfaat terbaik dari situasi tersebut. Mereka kemudian melanjutkan diskusi dengan membahas upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim.
Kerentanan masyarakat
Perubahan iklim memberikan dampak spesifik bagi bidang pertanian dan pangan. Dampak tersebut berupa kenaikan suhu yang melewati ambang batas suhu optimal bagi pertumbuhan tanaman, berkurangnya kesuburan ternak disebabkan stres akibat cuaca yang panas, penurunan sediaan air serta peningkatan kebutuhan air untuk irigasi, maupun peningkatan curah hujan secara ekstrim. Selain itu perubahan iklim juga berpengaruh terhadap perubahan distribusi dan produktivitas tanaman, serta punahnya berbagai jenis satwa liar endemik dan lokal.
Kerentanan sangat terkait dengan kehidupan masyarakat miskin yang bergantung kepada sumber daya alam. Ironisnya, kondisi kerentanan yang mereka hadapi saat ini bukan sekadar situasi yang tidak mengenakkan dan tidak dapat ditolak. Kondisi tersebut hadir sebagai sebuah ketidakadilan. Betapa tidak, masyarakat Manggarai yang tinggal di sekitar hutan, yang telah menjadi masyarakat yang ramah terhadap iklim, justeru sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Gaya hidup mereka rendah karbon, dan bahkan berkontribusi mengurangi karbon atmosfer. Namun, mereka justru menjadi salah satu kelompok paling rentan saat ini.
Yoppy Hidayanto, koordinator Knowledge Center Burung Indonesia, mengatakan, peranan hutan untuk adaptasi perubahan iklim sering terlupakan dalam pembicaraan perubahan iklim. Padahal, banyak masyarakat bergantung dari sumber daya alam yang terancam makin sulit didapat karena dampak perubahan iklim. “Hutan adalah gantungan langsung bagi masyarakat yang paling rentan dampak negatif perubahan iklim”, imbuhnya.
Menurut Laura Smelter, relawan VIDA (Volunteering for International Development from Australia), tingkat kerentanan yang ada di masyarakat tergantung pula kepada kegiatan mata pencaharian utama yang dilakukan oleh masyarakat, serta sumber daya yang dimiliki. Masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya yang terancam akibat perubahan iklim memiliki kerentanan lebih tinggi. Karena itu, dalam upaya mengurangi kerentanan masyarakat, kemampuan adaptasi masyarakat harus ditingkatkan.
Adaptasi Menghadapi Dampak Perubahan Iklim
Kemampuan beradaptasi sangat penting karena ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa proses pemanasan global dan perubahan iklim tidak mungkin dihentikan dalam jangka pendek. Emisi dari kegiatan kita di masa lalu akan menyebabkan perubahan dalam sistem iklim global sepanjang abad mendatang. Adaptasi juga diperlukan untuk menyiagakan masyarakat menghadapi perubahan dan ketidaktentuan masa depan.
Karenanya kita perlu mempromosikan adaptasi perubahan iklim di tingkat masyarakat dengan baik. Kegiatan ini harus melibatkan para pihak dari semua lapisan masyarakat untuk memfokuskan kepada kerentanan perubahan iklim lokal. Untuk kepentingan penyiagaan masyarakat, Perhimpunan Burung Indonesia bekerjasama dengan masyarakat Desa Cunca Lolos, melaksanakan diskusi mengenai adaptasi menggunakan metode CRiSTAL (Community Risk Screening Tool – Adaptation and Livelihoods). Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan masyarakat, mengenali dampak positif dan negatif perubahan iklim serta memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang ada di masyarakat.
Diskusi di Desa Cuncalolos dilakukan dalam dua sesi, seperti yang disampaikan oleh Dwi Retno Rahayuni, fasilitator diskusi dari Burung Indonesia. Diskusi awal lebih banyak berisi sosialisasi mengenai perubahan iklim, dengan kondisi cuaca yang berubah-ubah menjadi isu yang mengawali perbincangan. Diskusi kedua membahas dampak yang mereka hadapi serta strategi yang bisa ditawarkan.
Melalui diskusi ini, masyarakat memperoleh pengetahuan dasar mengenai perubahan iklim dan mengidentifikasi ancaman yang mereka hadapi terkait dampaknya, sehingga menyadari permasalahan yang dihadapi dan dapat menentukan strategi menghadapinya. Masyarakat juga dapat berbagi informasi karena pertemuan menjadi media berbagi pengalaman. Masyarakat di tempat lain akan lebih ‘aware’ dengan isu mitigasi dan adaptasi, sehingga dapat bersama-sama memperbaiki strategi yang telah ada menghadapi dampak perubahan iklim. Mereka juga menjadi lebih percaya diri dalam berdiskusi merumuskan masalah dan menentukan strategi.
Dari diskusi di Desa Cunca Lolos diketahui, ternyata adaptasi telah mereka lakukan tanpa mereka sadari. Ada yang mencoba memakai atap untuk melindungi tanaman dari curah hujan yang terlalu tinggi, ada yang membuat bedeng supaya tanaman tidak terendam banjir. Ada pula yang muncul dengan ide mengembangkan ternak babi saat curah hujan ekstrim melanda. Cuaca itu sangat cocok untuk menanam ubi/talas yang menjadi makanan babi. Hasil penjualan babi dapat dijual untuk dijadikan modal pada saat kekeringan melanda. Adaptasi juga mereka lakukan melalui perubahan pola tanam dengan pemilihan jenis tanaman yang cocok dengan curah hujan tinggi seperti tanaman sayur di pekarangan.
Diskusi ini juga menjadi tambahan informasi bagi banyak pihak (pemerintah maupun swasta) terkait hubungannya dengan proyek maupun program yang ditujukan untuk membantu masyarakat sehingga menjadi lebih efektif. Strategi yang telah mereka terapkan mungkin lebih efektif daripada yang ditawarkan atau direncanakan oleh proyek. Karenanya mengetahui strategi apa yang bisa ditawarkan oleh masyarakat menjadi penting dalam mengembangkan program yang lebih tepat sasaran.
Perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi alam, tetapi juga manusia, produktivitas serta mata pencaharian masyarakat. Karena itu, dampak perubahan iklim dan cuaca yang berubah-ubah harus pula menjadi pertimbangan dalam program yang dikembangkan di tingkat masyarakat. Fasilitator dapat berperan menyiapkan kondisi optimal agar mereka dapat melakukan adaptasi.
Masyarakat bisa memanfaatkan potensi dampak positif untuk membangun strategi lebih optimal. Namun mereka memiliki keterbatasan dalam menerapkan strategi yang mereka telah tentukan, seperti keterbatasan informasi, teknologi, modal maupun kemampuan negoisasi dengan pihak pemerintah. Yang penting dipahami adalah, setiap orang memiliki naluri adaptasi, dengan cara yang berbeda-beda. Selain itu, masyarakat selalu memiliki solusi sendiri untuk masalah yang mereka hadapi. Seperti yang kita peroleh dari hasil diskusi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai.*
No comments:
Post a Comment