Fahrul P. Amama
Seriwang sangihe (Eutrychomyias rowleyi) yang hanya terdapat di Pulau Sangihe (Sulawesi Utara) disebut-sebut sebagai salah satu burung paling langka di dunia saat ini. Populasinya hanya sekitar 19–135 ekor. Karenanya tidak heran jika BirdLife International memberikan status keterancaman tertinggi yaitu “kritis” bagi jenis ini. Seriwang sangihe merupakan genus tersendiri Eutrychomyias, dengan species tunggal, tanpa ras. Burung pemakan serangga nan cantik ini pertama kali diketahui berdasarkan awetan yang diperoleh A. B. Meyer, seorang naturalis berkebangsaan Jerman, pada tahun 1873. Setelah itu seriwang sangihe tidak terdengar lagi beritanya, kecuali dua catatan perjumpaan yang meragukan (1978 dan 1995). Beberapa ahli sempat mengkhawatirkan bahwa jenis ini telah punah, hingga pada bulan Oktober 1998 burung ini ditemukan kembali di hutan primer di bagian selatan pulau Sangihe. Orang di Sangihe menyebutnya dengan nama daerah Manu’ Niu, sebagai penghormatan kepada Om Niu (Anius Dadowali), warga desa Ulung Peliang, Kecamatan Tamako, Kabupaten Sangihe. Om Niu lah yang pertama kali menemukan kembali seriwang sangihe, setelah kurang lebih 125 tahun tidak terlihat lagi keberadaanya. Saat itu Om Niu tengah membantu tim Action Sampiri gabungan peneliti dari Inggris dan Indonesia yang melakukan ekspedisi riset di sana.
Ukurannya kurang lebih 18 cm. Punggung, sayap serta ekor biru langit, dengan bagian ekor lebih biru dan gelap di tepi ekor. Pas sekali dengan nama Inggrisnya, Caerulean-Paradise Flycatcher. Sayap terbang berwarna abu-abu gelap, sementara bagian tenggorokan hingga perut berwarna abu-abu terang dan agak kebiruan di bagian sisi. Lingkar sekitar mata berwarna putih dengan pupil mata berwarna coklat gelap dan paruh hitam. Di sekitar paruh terdapat kumis cukup panjang. Kaki berwarna abu-abu kebiruan dengan jari kaki dan kuku berwarna kelabu.
Seriwang sangihe secara alami menghuni kawasan lembah yang masih berhutan di Pegunungan Sahendaruman pada ketinggian antara 475 meter hingga 650 meter di atas permukaan laut. Endemik Pulau Sangihe ini memiliki penyebaran yang sangat sempit dan terkonsentrasi di lembah lembah curam yang masih berhutan. Luas hutan primer yang menjadi habitatnya di Pegunungan sahendaruman hanyalah sekitar 519 hektar, kira-kira seluas Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Dari 45 lembah sekeliling Gunung Sahandaruman yang telah disurvei pada tahun 2006, hanya 21 lembah di antaranya ditemukan populasi seriwang sangihe. Populasinya yang sangat kecil serta hilangnya habitat hutan yang terus berlanjut menjadi ancaman utama bagi kelestarian seriwang sangihe.
ilustrasi: Fahrul Amama (Yayasan Sampiri, 2000)
2 comments:
Di bulan januari 2010, saya mencoba birdwatching di gunung Sahendaruman demi melihat 'seriwang sangihe'...tapi hasilnya hanya kekecewaan.
Bulan januari adalah waktu paling tidak ideal untuk mengamati burung di sahendaruman, terutama untuk jenis seriwang sangihe. Bulan itu adalah puncaknya musim hujan, saat curah hujan sedang tinggi-tingginya. Mengamati burung paling ideal adalah di pagi hari saat cuaca cerah. Pengalaman saya, seriwang sangihe selama ini hanya teramati saat cuaca cerah. Burung ini pertama kali ditemukan kembali, setelah lebih dari satu abad menghilang, pada bulan Oktober 1998, dan bulan Oktober adalah waktu yang pas untuk mengamati burung di sahendaruman.
Post a Comment