Oleh Fahrul Amama
Panorama Danau Sano Nggoang, foto: Langgeng Arief Utomo/Burung Indonesia
Hari mulai sore, ketika mobil kami menukik di tikungan terakhir menuju Wae Sano, Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Jantung terasa berhenti berdetak saat mobil menuruni belokan tajam nan terjal; jantung kembali berdenyut kencang kala roda belakang tergelincir di jalanan berbatu. Namun di ujung tikungan, pemandangan danau nan teduh, yang menyeruak di sela bambu dan semak, terpampang di depan kami. Agaknya, memang perlu sedikit adrenalin yang berujung kejutan indah untuk menikmati Danau Sano Nggoang.
Tiga jam lebih kami berkendara dari Kota Labuan Bajo, melintasi jalan raya menanjak berliku, melewati hutan Mbeliling dan kebunkebun kemiri. Usai kejutan di tikungan itu, kami menelusuri jalan berbatu mengitari sisi timur Danau Sano Nggoang. Panorama tepian danau membasuh rasa lelah kami. Puluhan itik gunung, berbaur dengan itik benjut dan belibis tutul, mengapung di permukaan danau yang hijau dan tenang. Yap, inilah geowisata!
Itik gunung bermain di permukaan Danau Sano Nggoang, foto: Riza Marlon/Burung Indonesia
Sano Nggoang merupakan danau vulkanik di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Terletak di cekungan pegunungan bagian barat, bergaris keliling 7,8 km dan menghampar 513 hektare menjadikan danau ini terluas di Pulau Flores. Meski belum tersohor seperti Kelimutu di sisi timur, Sano Nggoang menjanjikan wisata alam yang tak kalah menarik bagi para pelancong.
Kami menghirup semerbak belerang saat melewati jalan tanah menanjak yang licin. Di sisi kanan kami, membentang daerah terbuka berselimut batuan vulkanik beku di tepi danau. Sebagai bekas kawah gunung api tua, Sano Nggoang menyisakan mata air panas yang mengandung belerang, dari rekahan batu vulkanik. Bau mata air panas itu menjadi aroma terapi alami yang membuat kami tetap terjaga sebelum memasuki batas desa.
“Welcome to Kampung Nunang, please come in to our simple house,” sambut Maria Sumur. Ia menyapa dengan ramah di tangga rumah dan menyilakan kami masuk. Rumahnya yang sederhana saja.
Kami agak kaget juga menerima sambutan dalam bahasa Inggris Maria, saat tiba di sebuah desa yang berjarak 48 km dari ibukota kabupaten. Maria adalah ketua kelompok sadar wisata yang sedang mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Nunang, Wae Sano. Dia, bersama kaum ibu anggota kelompok lainnya, dengan penuh semangat melatih ketrampilan menyiapkan masakan, melayani wisatawan dan berbicara dalam bahasa Inggris.
Maria memandu kami meniti anak tangga memasuki rumah. Hendrikus Habur, suami Maria, menyambut kami. Senyumnya khas Nusa Tenggara: gigi putih berona merah di sela gigi, pertanda pengunyah sirih sejati. Arif Junaidi, staf Burung Indonesia, memperkenalkan kami dengan anggota kelompok sadar wisata yang mengembangkan Sano Nggiang menjadi tujuan wisata alam.
Meski sederhana, acara ini adalah bagian dari tradisi curu, budaya masyarakat Manggarai dalam menyambut tamu. Kami duduk melingkar beralas tikar pandan untuk memulai kapu. Dalam ritual ini, tuan rumah mempersembahkan seekor ayam jantan putih, simbol rasa kekeluargaan dan keikhlasan hati.
Tuak disajikan sebagai hidangan penyambut untuk membilas dahaga dan lelah setelah perjalanan jauh. Di akhir prosesi, tetamu biasanya mempersembahkan uang kertas sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan menghormati arwah leluhur.
Bermalam di Wae Sano berarti melewati kegelapan tanpa polusi cahaya. Kebanyakan rumah hanya diterangi satu lampu TL bertenaga surya. Tanpa cahaya berlebihan, malam Wae Sano memberi kesempatan menikmati langit nan gemerlap. Bintang-bintang terlihat lebihberkilau. Inilah salah satu kriteria geowisata.Di awal musim kemarau ini, galaksi BimaSakti terlihat lebih cerah, memanjang dari utarake selatan. Di sekitarnya kita bisa melihat beragam konstelasi, seperti ursa minor dan centaurus. Ingin rasanya menikmati langit sepanjang malam sampai subuh menjelang. Namun, perjalanan yang melelahkan dan makan malam yang lezat membuat kami cepat mengantuk.
Kami bangun pagi-pagi. Ajakan menjelajah ke puncak Golodewa sembari mengamati burung membuat kami bersemangat untuk segera memulai hari. Sambil menunggu teman yang lain, saya dan Hendrikus membacabaca brosur wisata Sano Nggoang di Tourist Information Point, samping Kantor Desa.
Menurutnya, pusat informasi berupa panggung gazebo 4x4 meter itu dibangun dengan dana bantuan dari pemerintah Denmark. Bangunan kokoh dari kayu jati ini berfungsi sebagai pusat kegiatan kelompok sadar wisata sekaligus menjadi titik berkumpul para tamu.
Kelompok sadar wisata ini telah berlatih keras cara mengelola dan melayani tamutamu yang menginap; untuk mengintip pengembangan ekowisata di Pulau Dewata, kelompok ini juga sempat mengunjungi Bali.
Sejak kunjungan tamu ke Sano Nggoang meningkat, Hendrikus misalnya, berusaha meningkatkan kemampuannya mengenali lokasi pengamatan burung, mengidentifikasi burung dan nama-namanya dalam bahasa Inggris.
Hendrikus menuturkan, akhir-akhir ini banyak tamu yang berkunjung ke hutan Mbeliling untuk mengamati burung, yang mendorongnya mengasah keahlian memandu pengunjung. Pada 2009 saja ada 157 wisatawan dari mancanegara yang singgah di Wae Sano. Angka ini berlipat lima kali dari kunjungan 2008, yang hanya 30 wisatawan.
Salah satu tempat menarik untuk mengamati satwa bersayap itu ada di hutan Sesok, sekitar Danau Sano Nggoang. Beberapa jenis burung endemik, seperti gagak flores, kehicap flores dan elang flores dapat dijumpai di sini. Begitu juga, burung-burung dengan sebaran terbatas seperti tesia timor, kipasan flores dan cekakak tunggir-putih menjadi daya tarik tersendiri.
Kami berjalan santai menelusuri setapak di tepi sungai kecil. Saat berbelok menjauhi sungai melintasi kebun, Hendrikus menunjuk ke arah pohon ara di dekat sungai: kawanan burung gagak flores. Sontak, kami mengarahkan teropong dan menyaksikan burung berwarna hitam kelam itu sedang mencari makan.
Penjelajahan terus berlanjut, mendaki bukit, menembus semak. Sambil berjalan, Hendrikus mengenalkan kami beberapa jenis tumbuhan obat yang dipakai masyarakat setempat. Tiba di punggung bukit, keringat mulai mengalir dan nafas mulai tersengal. Untungnya, kami sempat mengintip seriwang asia yang cantik terbang melintas; ekornya yang panjang berwarna putih berkibar-kibar. Saat nafas mulai memburu, berhenti sejenak untuk mengamati burung menjadi alasan tepat untuk rehat.
Sampai di puncak Golodewa, rasa lelah kami terbayar lunas dengan pemandangan danau yang sangat indah. Saya memandangi bentang alam Danau Sano Nggoang yang diapit pegunungan. Kehadiran elang flores yang melayang meniti angin melengkapi keindahan panorama dari puncak bukit ini.
Seperti yang biasa kita alami saat trekking, perjalanan turun terasa lebih singkat. Kami langsung menuju rumah Hendrikus untuk mandi pagi dan sarapan. Maria sudah menanti dengan pisang goreng dan kue bola dari ketela yang siap disantap sambil duduk di teras tanah. Saat menyeruput teh, kami kembali disuguhi keindahan burung caladi tilik yang hinggap di pohon depan rumah. Burung sejenis pelatuk itu terlihat sibuk mematuki lubang di batang pohon mencari serangga untuk santapannya. Sementara itu, kancilan flores berkicau ribut dari puncak pohon randu di dekatnya.Matahari semakin tinggi, Hendrikus mengajak kami ke sumber air panas di pinggir danau untuk membasuh tubuh. Di lokasi ini terdapat tiga mata air panas dengan suhu yang berbeda: 30° C, 70° C, hingga 100° C. Ada juga pancuran air hangat yang mengandung belerang, bagus untuk natural spa: melumuri tubuh dengan endapan belerang.
Beranjak sore, kami bersiap untuk kembali ke Labuan bajo. Namun kejutan belum berakhir, ibu-ibu ternyata telah menyiapkan oleholeh: buah jeruk dan alpukat. Kami baru sadar, warga desa Wae Sano tidak sekadar memandang kami sebagai wisatawan. Ini seperti berlibur sembari menyambangi sanak keluarga.
Berbekal bentang alam, kebudayaan dan keragaman hayati yang kaya, kawasan Sano Nggoang pantas menjadi destinasi pariwisata masa depan. Kawasan ini dapat dikembangkan sebagai pariwisata berbasis masyarakat dengan aneka sisi ekowisata: budaya, pemandangan alam dan burung-burungnya.
(Sisipan National Geographic Traveller edisi November 2011)